FESTIVAL Danau Sentani (FDS) ke-V (19-23 Juni) pekan
lalu di Pantai Kalkhote, Kampung Harapan, Sentani-Kabupaten Jayapura-Provinsi Papua.
Untuk mencpai tempat FDS,saya mengunakan angkutan umum,di Jayapura
disebut “Taxi”tanpa argo.Cukup murah hanya Rp 3000 dari Abepura-menuju terminal
Expo,lanjut lagi dengan taxi menuju Sentani ongkosnya Rp 3000.Lima belas menit
saja. Bagi mereka yang baru di jayapura bisa langsung ingatkan ke supir,”Kampung
Harapan ada”supaya tidak kelewatan.Depan jalan terpasang umbul-umbul.
Tempat Festival berlangsung pantai Khalkote,kira-kira 200 meter.Ada ojek,ongkosnya
Rp 5000.Bagi yang suka jalan kakai bisa jalan. Ditengah perjalanan disungguhi dengan pesta pangkur sagu oleh masyarakat suku sentani. Perempuan-perempuan
Sentani sedang memerah sagu,sebagian laki-laki memangkur sagu. Dua meter dari
jalan raya,bagi mereka yang berjalan kakai,bisa singgah sebentar.
Begitu saya mendekati,aroma bau sagu yang khas begitu menelisik.Kembali
mengingatkan saya pada masa kecil saat pangkur sangu bersama keluarga.Hanya sepuluh menit saja,kemudian saya melanjutkan
perjalana menuju pementasan Festival.
FDS di buka secara resmi oleh
Sekretaris Jenderal Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Wardayatmoko.FDS sudah dicantumkan dalam kalender wisata Indonesia sebagai
acara budaya nasional, yang dipromosikan ke mancanegara dan menjadi even tahunan setiap 19-23 Juni.
Saat memasuki arena festival, berbagai atraksi
tari-tarian ditampilkan.Tari-tarian yang menceritakan kisah kehidupan manusia
Papua dan alam.
Berbusana tradisional
dikenakan perempuan,laki-laki
dan anak-anak,ikut menari sambil mendengungkan tifa seirama melenggak-lenggokkan tubuh
mereka.Para penari,asal Suku Walsa,Kabupaten Keerom,Provinsi Papua.Tari ini
mengisahkan tentang Penyembuhan seorang mama yang sedang sakit.
***
PEREMPUAN yang mulai beranjak tua itu
terkulai lemas. Sekujur tubuhnya panas-dingin. Ia bagai disengat matahari,
namun pula menggigil. Ia hanya membisu menahan sakitnya dalam pembaringan.
Suami, anak-anak dan keluarga perempuan itu lalu bersepakat segera memanggil
“tabib” Ti’ih−penyembuh ampuh
warga suku Walsa,Distrik Waris, Kabupaten Keerom−sosok dewa, penghuni rimba
kawasan ini.
Bagian ini mengawali pementasan Tari Penyembuhan oleh suku Walsa dalam
Festival Danau Sentani, Juni lalu.
Dengan busana adat kulit kayu, pernak-pernik: manik-manik, cenderawasih
dan anak-panah, nyanyian mengundang Ti’ih dikumandangkan. “Huuooo, huuoooo,
huuoooo.... Ditimpali tiupan instrumen musik bambu, tabuhan tifa, para
penari beriringan memasuki kawasan hutan di sekitar. Hiruk-pikuk itu memecah
kesunyian alam. Margasatwa riuh berpencaran mengisyaratkan datang para “tamu’’
Ti’ih, sang tabib.
Tiba-tiba, muncul dihadapan para penari dua sosok manusia dengan seluruh
tubuh tersaput pernak-pernik alam. Kepala kedua sosok ini juga ditenggeri
cenderawasih.
”Dewa! di rumah ada orang sakit. Kami
datang menjemput dewa berdua,”mohon para penari. Kedua Dewa Ti’i menyanggupi.
Lalu, tabuhan tifa kembali membahana mengiringi kedua dewa memasuki kampung.
Sementara warga lain siap mengabari si sakit yang masih terbaring lemah.
Salah seorang menggamit kedua tangan si sakit yang sudah pucat pasi itu dan
membisikinya tentang kedatangan kedua dewa tabib.
Kedua tabib mulai mengobati si sakit dengan mantra-mantra dan guraka. Penari
tetap menari mengelilingi si sakit, sementara peserta laki-laki terus memainkan
musik, bernyanyi, meniupkan suling, menabuh tifa. Prosesi ini terus berlangsung
untuk menyemangati dan memohonkan kesembuhan.
Selang beberapa menit kemudian, si sakit berangsur pulih. Setelah pulih
penuh, mama yang sakit itu bangkit dan bergabung dalam dan menari bersama
sebagai tanda ucapan syukur atas keajaiban dan baru saja dialaminya.
Kedua dewa tabib itu lalu diiring ke tempat asalnya dan menghilang di
telan rimba.
Tari Penyembuhan suku Walsa merupakan
pengisahan kembali kisah lama mengenai salah satu sosok sakral leluhur suku
ini. ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar