Selasa, 28 Agustus 2012

Kampung Kobakma-Mamberamo Tengah



Medan yang sulit dan mahalnya biaya transportasi (pesawat) membuat masyarakat akhirnya harus berjalan kaki dari Kobakma Ke kota Wamena.
Medan yang sulit menjadi salah satu faktor tingginya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai Kobakma, Ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah. Hal itu, sangat berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sehingga dibutuhkan langkah-langkah cerdas untuk mengatasi kesulitan ini.
Belum lama ini, Tabloid Suara Perempuan Papua, berkesempatan mengunjungi Kobakma melalui Wamena, masih segar dalam ingatan ketika itu Hari Selasa, cuaca terlihat baik karena jejeran pegunungan Cartenz yang terletak membujur mengelilingi “Baliem Valey” terlihat jelas, hijau membiru, meski sesekali di bagian puncak gunung terbungkus awan.  Di balik kokpit, Pilot Heri tengah melakukan persiapan untuk penerbangan, terlihat kedua tangannya sedang mengotak-atik perlengkapan, sambil sesekali tangannya diangkat di dekat wajahnya untuk melihat jarum jam.  Kontak dengan petugas jaga di lapangan terbang Kobakma terus dilakukan untuk memastikan bahwa pesawat dapat diterbangkan.
Beberapa menit kemudian, pesawat terasa bergerak menuju landasan pacu. Getaran kuat sangat terasa,  pesawat sedang dikonsentrasikan untuk lepas landas. Selang beberapa detik kemudian kami pun sudah mengangkasa. Terlihat pemandangan Kota Wamena yang semakin asri. Bentangan alam dan kebun-kebun penduduk serta letak kontur Tata kota Wamena yang semakin bagus. Tampak kemajuan pembangunan pasca terpilihnya John Wempi Wetipo dan John Banua menjadi Bupati dan Wakil Bupati di daerah itu.
Dari Wamena ke Kobakma, ditempuh selama 15 menit. Saat berangkat jarum jam menunjukan pukul 09.00 pagi, sehingga dalam perhitunganku hanya dalam waktu tersebut pesawat yang kami tumpangi sudah mendarat di Kobakma. Landasan pacunya jika diperhitungkan tidak lebih lebar dari panjang lapangan sepak bola. Cukup untuk penerbangan pesawat jenis cesna, sepeprti yang kami tumpangi pagi itu.
Pesawat menjadi satu-satunya sarana transportasi utama, cepat, dan mahal. Mahal karena untuk menggunakan pesawat ini, biasanya dikenakan ongkos sewa yang terbilang sangat mahal. Sebab untuk sekali penerbangan dari Wamena-Kobakma ongkosnya dapat mencapai Rp 25 juta. Itu pun untuk sekali terbang jika bolak balik maka duakali lipat harganya. Tak heran hanya pejabat daerah saja yang dapat menggunakan pesawat untuk urusan dan berbagai keperluan pemerintahan. jika untuk urusan biasa maka jalan kaki adalah pilihan yang mau tidak mau harus ditempuh.
Dari Kobakma ke Wamena atau sebaliknya memang belum ada jalan darat yang mulus, meski dapat ditembus oleh kendaraan jenis L200 namun hanya sampai di Yalimo. Tentu saja hal itu disebabkan kondisi medan yang sangat sulit. Letaknya di kemiringan jurang terjal dan kadang harus melalui sungai yang lebar dan berada di belantara hutan yang sangat lebat.
Kondisi ini, tentu saja butuh kerja keras dan perhatian serius dari pemerintah untuk membuka atau menerobos isolasi daerah guna menjangkau masyarakat yang hidupnya terpencar-pencar dan jauh di tengah belantara.
Karena kesulitan transportasi seperti ini, makanya tidak heran jika masyarakat harus rela berjalan kaki ratusan kilometer untuk mencapai kota Wamena. Wamena memang telah menjadi pusat san sentral perputaran seluruh roda perekonomian di wilayah pegunungan Tengah Papua. Jauh sebelum ada Kabupaten-kabupaten baru yang lain, Wamena adalah Ibukota induk dan menjadi pusat aktvitas kegiatan masyarakat dan pemerintahan. Wamena juga menjadi titik jangkau yang mudah dijangkau dari berbagai arah, sehingga meski berjalan kaki ratusan kilometer, Kota Wamena pasti dapat dijangkau, meski harus melewati lembah, mendaki bukit dan menyusuri lembah-lembah.
Dari Wamena ke Kobakma untuk ongkos pesawat biasa harganya bisa mencapai Rp 2,5 juta/orang  sedangkan dari Kobakma-Wamena relatif murah, Rp 350 ribu/orang. Biasanya untuk menentukan harga tiket pesawat dilakukan sesuka hati para pilot atau awak pesawat karena situasi yang serba sulit dan tidak ada alternatif lain, sehingga disinilah pertaruhan harga menjadi satu-satunya pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar oleh calon penumpang pesawat.
kondisi ini dipandang sangat menyiksa, apalagi jika warga yang punya uang, atau jika ada uang tapi sangat sulit mengaskses penerbangan karena harus membayar mahal untuk sekali penerbangan dengan ongkos sewa pesawat yang terbilang gila-gilaan.
Meski sulit secara ekonomi untuk memanfaatkan jasa penerbangan, namun keterbatasan ini tidak menyurutkan semangat hidup warga di Kobakma untuk tidak menikmati pembangunan.  Meski cukup jauh namun aktivitas perekonomian warga tetap berjalan meski dalam skala tradisional, karena ada hari-hari yang dikhususkan untuk berjualan. Biasanya mereka menyebutnya dengan hari pasar. Hari pasar di sana berlangsung pada Selasa, Kamis dan Sabtu. Pada hari-hari seperti ini biasanya ibukota distrik sangat ramai dikunjungi warga, mereka melakukan transaksi untuk berbagai keperluan dan umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan, minum dan pakai).
Dalam perspektif  orang di luar mereka perjalanan panjang dengan berjalan kaki dari dan kembali ke Kobakma merupakan sebuah penyiksaan yang maha berat. Tapi justru terbalik dengan warga asli Kobakma atau mereka yang saat ini bertugas disana, berjalan kaki adalah hal yang paling murah dan dapat menghemat pengeluaran hingga jutaan rupiah. Bisa dibayangkan mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk waktu yang singkat dalam sekali penerbangan, misalnya 15 menit dari Wamena dan 40 menit dari Jayapura. Sudah begitu, pesawat pun tak rutin menyinggahi Kobakma, dalam sebulan barangkali hanya sekali penerbangan normal, jika dikunjungi pesawat beberapa kali maka tentu saja pesawat tersebut sedang di sewa. Biasanya oleh Pejabat Pemerintah atau oleh misi pelayanan gereja atau oleh para peneliti atau dari organisasi non pemerintah lainnya.
Umumnya Kobakma dilayani oleh pesawat berukuran kecil seperti cesna, pilatus porter, ataupun twin otter dari maskapai penerbangan sipil seperti AMA, MAF dan Yajasi.
Harga Barang Selangit
Kesulitan geografis menjadi salah satu penyebab tingginya harga barang di Ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah, Kobakma. Betapa tidak, untuk mengangkut berbagai barang kebutuhan baik untuk keperluan aparat pemerintah maupun untuk kebutuhan masyarakat maka mau tidak mau harus diangkut melalui udara. Tentu saja hal ini membutuhkan biaya tinggi sebab belum ada jalur transportasi darat yang dapat menghubungkan Kobakma dengan Wamena sehingga berbagai barang kebutuhan rakyat dapat diangkut melalui jalur transportasi darat.
Seperti telah diceritakan diatas bahwa hanya pejabat daerah dan pelaku bisnis yang dapat menggunakan pesawat dengan patokan harga sewa hingga menembus puluhan juta rupiah. “Tak ada penerbangan tetap sehingga penerbangan dari Wamena dan Jayapura biasanya dicarter pejabat atau kebutuhan bisnis bisa mencapai Rp 25-27 juta, sekali terbang”, ujar Harun, Kapala Distrik Kobakma.
Menurutnya, kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. Tak heran harga kebutuhan ekonomi di Kobakma, tergolong mahal. misalnya untuk satu kilo gula pasir mencapai Rp 50 ribu, beras 1 kg Rp 30 ribu, dan minyak tanah Rp 20 ribu per liternya.
Memang sangat sulit dan bisa dibayangkan betapa harga barang menjulang tinggi. Meski tergolong sangat tinggi namun harus dibeli karena tidak ada lagi alternatif lain.
Disisi lain masyarakat tetap melakukan aktivitas jual beli seperti biasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berjualan hasil-hasil kebun mereka seperti sayur-sayuran ( buncis, kol, sawi);  ubi jalar, keladi, pisang, pepaya, sagu, kacang tanah dengan harga yang relatif murah dan dapat dijangkau oleh pembeli yang umumnya adalah masyarakat biasa dan para pegawai kecamatan.
Meski demikian, Kobakma pun memiliki potensi yang luar biasa, dimana secara ekonomi ia menjadi daerah yang sangat subur dan dapat dijadikan sebagai sentra produksi sayur-mayur, karena dari Kobakma ada sejumlah sayuran yang dijual ke Wamena dengan menggunakan pesawat.
Misalnya seperti yang dilakukan oleh Adelina, (nama samaran)meskipun bukan pebisnis kelas kakap namun ia cukup paham dengan peluang-peluang bisnis yang dapat digarap meski hanya skala kecil. Kepada media ini ia mengaku bahwa dari berjualan hasil kebun ia mampu menopang kebutuhan rumah tangganya. Ia bahkan meluaskan jaringan bisnisnya dengan mendatangkan pinang dari Wamena dan Jayapura, dan dijualnya dengan harga spesial di Kobakma, dan tentu saja dari hasil penjualannya itu dirinya dapat dengan leluasa keluar masuk Kobakma untuk urusan bisnis.
Sementara itu, Kepala Distrik Kobakma, Harun Pagawak, dalam sebuah perbincangan dengan TSPP mengatakan bahwa kondisi medan di Kobakma cukup sulit, sehingga sering menjadi kendala dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. namun dari kondisi tersebut dirinya tetap melayani berbagai kebutuhan masyarakat dan menjadi menghubung bagi berbagai kepentingan pemerintah di distrik.
Ia juga sangat berharap agar kedepannya  Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah dapat berusaha keras untuk membuka isolasi daerah dengan membangun jalan tembus Kobakma – Wamena, dan bekerja sama untuk merintis masuknya penerbangan reguler sehingga dalam sebulan atau seminggu minimal ada beberapa kali penerbangan keluar masuk Kobakma. “kami berharap demikian khusus untuk pesawat agar dijadwalkan sehingga memudahkan pelayanan pemeritahan kepada masyarakat”, papar Pagawak.
Menurutnya, jika ada transportasi yang baik tentu saja akan mendorong peningkatan ekonomi masyarakat di Kobakma, khususnya transportasi darat.
Merindukan Angkutan
Sementara itu, ika, (25 tahun) perempuan asli Kobakma yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kobakma kepada TSPP bercerita ketika ia hendak ke Kobakma dari Wamena menggunakan mobil angkutan jenis L200,dengan ongkos perorangnya Rp 100 ribu dari kota Wamena ke Pasfale bersama beberapa teman kerjanya, sampai di Pasfale Kabupaten Yalimo, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki mengikuti jalan setapak, mendaki bukit, lereng dan menyeberangi sungai yang lebar. Biasanya mereka berangkat pagi sampai di Kobakma malam, seharian penuh berada di belantara hutan menapaki bukit, dan menuruni jurang terjal dan lebah sepanjang perjalanan menuju Kobakma.
Saat liburan berakhir Ika dan teman-teman harus kembali dengan cara yang sama, karena ongkos tiket dari Wamena-Kobakma Rp2,3 juta.” harga segitu terlalu mahal jadi saya dan teman-teman, kita memilih jalan kaki saja”kenang ika. Harga tiket dari Kobakma-Wamena Rp 350 ribu. Dari wamena ke Kobakma mahal”saya dan teman-teman lebih memilih jalan kaki saja”ujar wanita asal Kelila ini.
Ika berharap agar ada jalan tembus-ke Kobakma sehingga tidak lagi ikut jalan setapak ditengah hutan.Jalan tembus ke kobakma supaya kita bisa naik angkutan sampai di kobakma.

Wisata Kampung "Geraba" di Danau Sentani


Wisata Kampung "Geraba",Di Tengah Danua Sentani
                                                                  ***Fonsa***
Ternyata Sentra Geraba,tidak hanya ada di Bantul,Yogyakarta,Ada juga di Papua.
Menuju  kampung Abaar,kampung geraba.Kala matahari belum mau beranjak,masih  tertutupi awan hitam,hujan gerimis di Senin,2 juli-lalu,dengan mengenderai sepeda motor,dari  waena-menuju Dermaga Kampung Yahim-Sentani,Kabupaten Jayapura-Papua.Dermaga ini merupakan dermaga  penyebrangan untuk ke beberapa kampung lainya.
Untuk ke Kampung Abaar,harus mengunakan perahu. Abaar..abaarrr..,langsung jalan”tawar  Carlos Doyapo,si pemilik perahu ketinting,”di ujung dermaga.
**Tiga puluh menit,perjalanan menuju Abaar.Hamparan danau sentani bagaikan gelaran permadani  yang dipagari  gugusan bukit-bukit. Di sebelah  barat,hujaunya rumpun hutarn sagu,serasa bersahaja.
Sesekali, burung-burung berbulu putih,menceburkan diri ke air danau.Atraksi burung penjaga danau ini,turut menghilangkan rasa penat perjalanan.Melewati kampung,Ifale,Putali,Kensio,Yohiki,jam menunjukan pukul 10.30,sampailah di kampung sentra pembuat geraba,Kampung Abaar,Distrik Ebum Fauw,Sentani Tengah,Kabupaten Jayapura.
Bangunan Gereja besar,seng bercat biru,kelihatan megah,Salib besar menjulang tinggi di atas bukit,didirikan di atas sempe,tempayan  berukuran besar,menjadi lapak dasar pijak Salib.
Dari dermaga Abaar,sebelum memasuki kampung,kita langsung berhadapan dengan tembok Gereja diukiri tifa,motof-motif suku sentani,ada pula miniatur lainya berbahan tanah liat, bernuansa suku Sentani.Kesemua bentuk,ukiran  tentu memiliki makna dan Filosofi hidup mereka.   
Sedang mengamati  ornamen-ornamen tersebut.Datang seorang lelaki bertopi hitam,bertubuh tinggi datang  menghampiriku.Ternyata dia,Yonas Doyapo yang juga Kepala Kampung Abaar. Baru pertama kali saya ke Kampung itu,satu yang  saya cari di mana  tempat pembuatan gerabah??Langsung saja kami menuju tempat pembuatan Geraba,letaknya di atas kaki bukit.Terlihat sebuah tungku berukuran besar,bertembok bata,bertumpuk bata-bata yang belum di Openni.
Tak jauh dari Pembakaran bata(Open)menurut Yonas yang juga ketua pengrajindi kampung  Abaar,terdapat sebuah ruangan berukuran 4x7 meter,berlantai tanah,berdinding papan.Dalam ruangan sederhana ini,tampak seorang ibu, sedang menjejerkan hasil karya pengrajin setempat pada rak-rak terbuka seperti: asbak,pot bunga,sempe,tungku tanah liat,meja, kursi sepasang(1 meja dan 4 kursi bebentuk bulat,terpolesi motif sentani,menambahkan kekhasan Papua.
Tempat ini “Kios geraba kampung Abaar”.Di teras kios inilah mereka biasanya megaduk adonan tanah liat dan menempanya menjadi berbagai bentuk kerjaninan.
Hasil kerajinana di jual dari  harga Rp 5000-200.000;itu untuk ukuran asbak,pot bunga ,sempe dan Tungku. SedangkanSatu set Meja,kursi Rp5 juta lebih.
Terkait pemasaran.Mereka belum memiliki pasar tetap. Biasanya dibawa ke pasa sentani atau ikut pameran di Festival Danau Sentani.Belum pernah pameran keluar.”Kalau ada pesanan,kami buat di sini.Kalau tidak,kami buat dan taru di kios saja.Nanti yang butuh mereka datang ke sini”Ujar mama Yohana.
Boleh dibilang pekerja geraba musima.Saat ada pesana baru mereka buat.Masih dijadikan pekerjaan sambilan.Padahal di kampung ini sangat berpotensi  jika diseriusi.Pasti memiliki pasar.Gerabah asal kampung Abaar, tak diragukan lagi kualitasnya.Nyatanya beberapa kampung,di Jayapura  seperti :Nafri,Enjros,Tabati,Skow sering membeli sempe di kampung Abaar.Beberapa bulan lalau,kata Yonas di kampungnya kedatangan pembeli dari Sorong,hanya untuk membeli sempe.
****Tahun 2010,mereka(kelompok pembuat geraba)pernah mengikuti pelatihan di Manado dengan membawa sampel tanah liat.Rupanya berkualitas setelah diuji.Dan bisa  memproduksi produk-produk lain,seperti genteng,batu bata.
Namun saya, pengalaman yang  pernah dipraktekkan di sana urung direalisasikan.Karena untuk membuat genteng,bata jelas  membutuhkan  peralatan.Harga Exruder mesin pengaduk tanah,harga Jakarta Rp 75 juta,yang harus dibeli di Jakarta.Berarti mesin seperti itu tidak ada di sini?Ya.”Tutur ....kepada suara Perempuan Papua.
             Pernahkan kampung Abaar mengusulkan  bantuan berupa mesin kepada Pemerintah?,”Sudah,tapi sampai detik ini,kami masih gunakan kaki dan tangan kami”dengan raut sedikit syukur kepada Tuhan,meski tak diberi mesin,tangan mereka masih bisa mengaduk  tanah liat menjadi sebuah hasil karya layaknya buatan mesin.*****
Kerap orderan bata,genteng berdatangan mencapai ribuan.Namun,sayang belum bisa di penuhi.Ya, itu tadi tidak ada mesin pemembantu.Agar bisa berproduksi dalam jumlah banyak.****
Walaupun demikian,mereka mampu membuat pesanan berjumlah ratusan.Terkait pemasaran.Belum dipasarkan secara teratur,belum ada pasar  tetap.Promosi lewat Gereja.Selain itu,biasa mereka menjual di Pasar sentani atau di pajang di kios.
~~~**Hari  itu juga,sebanyak 75 sempe,dinaikan ke atas perahu. Sempe-sempe ini pesanan dari wisata rohani yang sebelumnya berwisata ke kampung Abaar.Per-sempe dihargai Rp 50 ribu.
~~~Memang tidak semuda yang kita bayangkan,asal  jadi,tidak demikian.”Kitong harus  sabar,tanah sebelum jadi sempe,tong harus injak-injak tanah,kalo ada batu,dibuang,begitu  sampe trada batu  baru kita mulai buat sempe,sampai proses  pembakaran  selama 9 jam.          Semua pekerjaan secekil apapun itu,mesti kerja dengan hati,niat yang baik,sabar pasti jadi baik.maka hasil akhirnyapun  pasti baik”Jelas  kepala kapung abar,berdialge Sentani,mengahiri perbincangan kami.
***Kampung  Abaar  terletak di ketinggian 5 meter dari air danau. Kampung ini,jauh dari hiruk pikuk,kebisingan suasana kota.Aktivitas nelayan menjaring,pemangkur sagu,berbaur  sejuknya semilir angin menyesap  dalam suasana  hening...ikut memanjakan  mata  menerawang  mengintari  rumah-rumah yang mengapung di kampung-kampung tetangga,sesekali kepulan asap menembus atap rumah menjadi   suguhan lukisan alam  yang  seketika larut dalam  rasa ikut menentramkan jiwa.
         Bagi mereka yang ingin berkunjung ke kampung Abaar,cukup membayar ongkos Rp 10.000,pergi pulang.Sekaligus berwisata.Jangan bilang  tahu kampung Abaar,tapi belum pernah menginjakan kaki  di kampung  pembuat Geraba ini.


Senin, 27 Agustus 2012

Wisata Kampung Kilise(Kurima-Wamena)

Papua Travel menyelenggarakan perjalanan wisata selama empat hari mengunjungi tiga kampung yang menjadi tujuan wisata Kabupaten Jayawijaya. Berwisata ke Kampung Kilise, Wuserem dan  Syokosimo melintasi jalan setapak di lereng gunung yang berbatu.


PEMERINTAH Kabupaten Jayawijaya menetapkan tiga Kampung: Kilise, Wuserem dan  Syokosimo menjadi Kampung Tujuan Wisata, pada Tahun Wisata 2011. Dalam kerangka Tahun Wisata itu, Papua Travels menyelenggarakan wisata ke tiga kampung tersebut selama empat hari. Perjalanan menuju ketiga kampung itu dilakukan dengan berjalan kaki melintasi jalan setapak. Tidak ada sarana jalan yang tersedia untuk bisa dilalui kendaraan roda dua dan empat.
Jalan yang dilintasi hanya dengan berjalan kaki itu menelusuri jalan setapak di lereng gunung yang terjal berbatu hingga tiba di kampung-kampung tujuan wisata. Jarak antar kampung dapat ditempuh selama tiga sampai lima jam.
Dua turis asal Austria yang menggunakan jasa Papua Travels mengunjungi Kampung: Kilise, Wuserem dan Syokosimo adalah Florian Gallien (31) dan Inger Lankmayer (31). Keduanya dari Jayapura menggunakan jasa penerbangan pesawat Trigana Air nomor 276 yang dikemudikan pilot Bambang Sumardi pada Senin 22 November 2011 menuju kota Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.
Dari Wamena, Florian Gallien, Inger Lankmayer, Damianus Wasange, Otis (Mr. Cooking), Spidi dan Bolii dan tabloid Suara Perempuan Papua yang tergabung dalam Tours Papua Travels melanjutkan perjalanan menuju Kampung: Kilise, Wuserem dan Syokosimo pada Selasa 23 November 2011 pukul 10.30 pagi dipandu Damianus, Otis, Spidi dan Bolii – sekaligus sebagai porter (pengangkut barang turis) bagi para turis selama empat hari.
Perjalanan Florian dan Inger dari Eropa menuju tiga kampung terpencil di Kabupaten Jayawijaya yang dijadikan kampung tujuan wisata juga memang jauh dan melelahkan, serta tentu biaya yang mereka keluarkan juga tidak murah. Jika dihitung, keduanya paling tidak masing-masing merogoh kocek sebesar Rp 50 juta hanya untuk mengunjungi lokasi wisata di daerah terpencil yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki di jalan setapak berbatu, berbukit-bukit, turun naik gunung, dan menginap di honai tanpa penerangan lampu.
Walau lokasi tujuan wisatanya terpencil dan keadaannya serba alami,  Florian Gallien dan  Inger Lankmayer tak sedikit pun mengeluh ataupun berkata bosan. Keduanya sangat menikmati perjalanan wisata selama empat hari di kampung terpencil. Kondisi badan jalan dari Wamena ke Kurima yang terputus membuat perjalanan warga setiap hari dari dan ke arah itu hanya ditempuh dengan berjalan kaki.
Kami menggunakan angkutan mobil jenis kijang berwarna merah dikemudikan Piter Wetipo dari Wamena sampai ke Kurima, tapi hanya sampai di tengah jalan kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati Kampung Megapura, Hepuba, Longsor, Wesapor,dan menyeberangi Kali Yetni menuju Kurima.
Matahari terbenam saat kami tiba di Kampung Kilise. Kampung berikutnya masih jauh, sehingga kami sepakat menginap di kampung ini. Keesokan harinya, Rabu 24 November 2011 pukul 08.00 pagi kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Wuserem. Perjalanan melewati jalan setapak di pinggir bantaran Sungai Baliem. Perjalanan ditempuh selama empat jam mendaki bukit yang bertepi jurang dengan derasnya Sungai Baliem di bawahnya. Gundukan batu menjadi ganjalan kaki menuruni tebing yang curam.
Derasnya arus serasa langkah kaki mengikuti arus. Sementara di tepi sungai berjajar rapi tumpukan batu-batu putih membentuk petak-petak yang ditanami wortel, buncis, bawang merah dan petatas. Di antara pagar batu dan menengok ke arah gunung terdapat rumah alang-alang atau honai dari kejauhan terlihat kepulan asap berembus bagaikan lukisan yang memanjakan mata selama perjalanan tour.
Jembatan Sungi Baliem yang panjangnya 100 meter, beralaskan papan berukuran satu meter membentangi Sungai Baliem dan hanya bisa dilewati satu orang. Kami melintasi lereng gunung di pinggiran Sungai Baliem selama tiga jam hanya untuk menyeberangi jebatan Sungai Baliem. Setelah melewati jembatan, kami mendaki gunung menuju sebuah perkampungan kecil, matahari mulai memuncak sekira pukul 12.30 siang, begitu terasa sengatan teriknya mentari, keringat bercampur kelelahan dan perut mulai terasa lapar dan haus. Mr. Cooking minta kami makan siang di pinggir Kali Mugi.
Air di kali Mugi sangat jernih, dan bersih sehingga masyarakat yang hidup di sekitarnya menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat membentang tiga kayu bulat sebagai jembatan penyeberangan. Ketiga batang kayu bulat itu diikat dengan tali hutan yang kuat menjadi jembatan penyeberangan masyarakat sekitarnya.
Di pinggir kali, kami bertemu dengan ibu-ibu yang turun dari kampung dengan membawa jerigen, panci dan wajan menyeberangi jembatan untuk mengambil air minum, mencuci dan mandi di Kali Mugi. Kami pun beristirahat di jembatan untuk makan siang.
Usai istirahat makan siang, kami melanjutkan perjalanan sampai tiba di Kampung Wuserem pukul 06.00 sore. Di kampung ini, kami menginap di tempat penginapan (quest house) atau honai milik Soleman Asso yang disiapkannya untuk para turis yang berkunjung ke wilayah itu sebagai tempat penginapan. Honai tersebut terletak di atas bukit menghadap ke arah aliran Sungai Baliem yang membentang dari barat hingga ke timur pegunungan memantulkan buratan matahari terbenam menjadi sebuah pemandangan yang paling indah di waktu sore. Kami pun beristirahat sembari menikmati matahari terbenam.
Ketika malam kampung itu gelap gulita. Hanya nyala api di tungku dalam honai yang nyala. Pemilik honai hanya menyediakan beberapa batang lilin untuk menerangi ruang pada malam hari.
Di dalam honai itu tidak ada tempat tidur, tikar atau pun kasur. Di dalam hanya beralaskan alang-alang di atas tanah. Karena sudah sangat lelah dan mengantuk, kami pun tidur dengan nyenyak beralaskan alang-alang di dalam honai. Gemuru arus deras Sungai Baliem mengiringi tidur malam kami.
Jumat 25 November 2011 pukul 06.20 pagi usai sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan dari Kampung Wuserem menuju Kampung Syokosimo. Selama dua jam kami mendaki gunung untuk memasuki Kampung Syokosimo yang lembah dikelilingi gunung.
Letak geografis Kampung: Kilise, Wuserem, Syokosimo dan kampung-kampung lainnya sangat jauhan dan terpencil dari ibukota distrik dan kabupaten serta tidak tersedia sarana dan prasarana jalan, transportasi, listrik dan air bersih. Masyarakat hidup tergantung pada alam. Keterisolasian ini membuat hasil-hasil pertanian masyarakat sulit dijual ke kota Wamena. Sarana dan prasarana pendidikan juga tidak tersedia.
Untuk membelanjakan kebutuhan bahan pokok seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, garam, vetcin dan lainnya, masyarakat biasanya berjalan kaki dari kampung sampai ke ibukota distrik atau sampai ibukota kabupaten di Wamena. Habis belanja mereka pikul pakai noken pulang ke kampung.
Seperti pada Kamis siang, kami bertemu Jaret Kobak di pertengahan jalan. Dia memikul barang belanjaannya seperti beras, minyak goreng, rokok dan kebutuhan lainnya dari Wamena menuju Kampung Anggruk. ”Kalau jalan sampai malam, nanti saya tidur di tengah jalan, baru lanjut lagi sampai ke kampung”.
Pada Sabtu 26 November 2011 pukul 07.30 pagi, tim tours Papua Travels mengadakan perjalanan kembali dengan berjalan kaki menuju Wamena dari Kampung Kurima, Kilise, Wuserem dan Syokosimo. Dari Kampung Syokosimo Distrik Kurima ke kota Wamena ditempuh selama lima jam. Tarif ojek dari Kampung Syokosimo ke Wamena sebesar sepuluh ribu rupiah perpenumpang.
Dari seberang longsoran Kali Yetni kami menumpang mobil angkutan umum jenis starwagon menuju kota Wamena.