Papua Travel menyelenggarakan perjalanan wisata selama empat
hari mengunjungi tiga kampung yang menjadi tujuan wisata Kabupaten
Jayawijaya. Berwisata ke Kampung Kilise, Wuserem dan Syokosimo
melintasi jalan setapak di lereng gunung yang berbatu.
PEMERINTAH Kabupaten Jayawijaya menetapkan tiga Kampung: Kilise, Wuserem dan Syokosimo menjadi Kampung Tujuan Wisata, pada Tahun Wisata 2011. Dalam kerangka Tahun Wisata itu, Papua Travels menyelenggarakan wisata ke tiga kampung tersebut selama empat hari. Perjalanan menuju ketiga kampung itu dilakukan dengan berjalan kaki melintasi jalan setapak. Tidak ada sarana jalan yang tersedia untuk bisa dilalui kendaraan roda dua dan empat.
Jalan yang dilintasi hanya dengan berjalan kaki itu menelusuri jalan setapak di lereng gunung yang terjal berbatu hingga tiba di kampung-kampung tujuan wisata. Jarak antar kampung dapat ditempuh selama tiga sampai lima jam.
Dua turis asal Austria yang menggunakan jasa Papua Travels mengunjungi Kampung: Kilise, Wuserem dan Syokosimo adalah Florian Gallien (31) dan Inger Lankmayer (31). Keduanya dari Jayapura menggunakan jasa penerbangan pesawat Trigana Air nomor 276 yang dikemudikan pilot Bambang Sumardi pada Senin 22 November 2011 menuju kota Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya.
Dari Wamena, Florian Gallien, Inger Lankmayer, Damianus Wasange, Otis (Mr. Cooking), Spidi dan Bolii dan tabloid Suara Perempuan Papua yang tergabung dalam Tours Papua Travels melanjutkan perjalanan menuju Kampung: Kilise, Wuserem dan Syokosimo pada Selasa 23 November 2011 pukul 10.30 pagi dipandu Damianus, Otis, Spidi dan Bolii – sekaligus sebagai porter (pengangkut barang turis) bagi para turis selama empat hari.
Perjalanan Florian dan Inger dari Eropa menuju tiga kampung terpencil di Kabupaten Jayawijaya yang dijadikan kampung tujuan wisata juga memang jauh dan melelahkan, serta tentu biaya yang mereka keluarkan juga tidak murah. Jika dihitung, keduanya paling tidak masing-masing merogoh kocek sebesar Rp 50 juta hanya untuk mengunjungi lokasi wisata di daerah terpencil yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki di jalan setapak berbatu, berbukit-bukit, turun naik gunung, dan menginap di honai tanpa penerangan lampu.
Walau lokasi tujuan wisatanya terpencil dan keadaannya serba alami, Florian Gallien dan Inger Lankmayer tak sedikit pun mengeluh ataupun berkata bosan. Keduanya sangat menikmati perjalanan wisata selama empat hari di kampung terpencil. Kondisi badan jalan dari Wamena ke Kurima yang terputus membuat perjalanan warga setiap hari dari dan ke arah itu hanya ditempuh dengan berjalan kaki.
Kami menggunakan angkutan mobil jenis kijang berwarna merah dikemudikan Piter Wetipo dari Wamena sampai ke Kurima, tapi hanya sampai di tengah jalan kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati Kampung Megapura, Hepuba, Longsor, Wesapor,dan menyeberangi Kali Yetni menuju Kurima.
Matahari terbenam saat kami tiba di Kampung Kilise. Kampung berikutnya masih jauh, sehingga kami sepakat menginap di kampung ini. Keesokan harinya, Rabu 24 November 2011 pukul 08.00 pagi kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Wuserem. Perjalanan melewati jalan setapak di pinggir bantaran Sungai Baliem. Perjalanan ditempuh selama empat jam mendaki bukit yang bertepi jurang dengan derasnya Sungai Baliem di bawahnya. Gundukan batu menjadi ganjalan kaki menuruni tebing yang curam.
Derasnya arus serasa langkah kaki mengikuti arus. Sementara di tepi sungai berjajar rapi tumpukan batu-batu putih membentuk petak-petak yang ditanami wortel, buncis, bawang merah dan petatas. Di antara pagar batu dan menengok ke arah gunung terdapat rumah alang-alang atau honai dari kejauhan terlihat kepulan asap berembus bagaikan lukisan yang memanjakan mata selama perjalanan tour.
Jembatan Sungi Baliem yang panjangnya 100 meter, beralaskan papan berukuran satu meter membentangi Sungai Baliem dan hanya bisa dilewati satu orang. Kami melintasi lereng gunung di pinggiran Sungai Baliem selama tiga jam hanya untuk menyeberangi jebatan Sungai Baliem. Setelah melewati jembatan, kami mendaki gunung menuju sebuah perkampungan kecil, matahari mulai memuncak sekira pukul 12.30 siang, begitu terasa sengatan teriknya mentari, keringat bercampur kelelahan dan perut mulai terasa lapar dan haus. Mr. Cooking minta kami makan siang di pinggir Kali Mugi.
Air di kali Mugi sangat jernih, dan bersih sehingga masyarakat yang hidup di sekitarnya menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat membentang tiga kayu bulat sebagai jembatan penyeberangan. Ketiga batang kayu bulat itu diikat dengan tali hutan yang kuat menjadi jembatan penyeberangan masyarakat sekitarnya.
Di pinggir kali, kami bertemu dengan ibu-ibu yang turun dari kampung dengan membawa jerigen, panci dan wajan menyeberangi jembatan untuk mengambil air minum, mencuci dan mandi di Kali Mugi. Kami pun beristirahat di jembatan untuk makan siang.
Usai istirahat makan siang, kami melanjutkan perjalanan sampai tiba di Kampung Wuserem pukul 06.00 sore. Di kampung ini, kami menginap di tempat penginapan (quest house) atau honai milik Soleman Asso yang disiapkannya untuk para turis yang berkunjung ke wilayah itu sebagai tempat penginapan. Honai tersebut terletak di atas bukit menghadap ke arah aliran Sungai Baliem yang membentang dari barat hingga ke timur pegunungan memantulkan buratan matahari terbenam menjadi sebuah pemandangan yang paling indah di waktu sore. Kami pun beristirahat sembari menikmati matahari terbenam.
Ketika malam kampung itu gelap gulita. Hanya nyala api di tungku dalam honai yang nyala. Pemilik honai hanya menyediakan beberapa batang lilin untuk menerangi ruang pada malam hari.
Di dalam honai itu tidak ada tempat tidur, tikar atau pun kasur. Di dalam hanya beralaskan alang-alang di atas tanah. Karena sudah sangat lelah dan mengantuk, kami pun tidur dengan nyenyak beralaskan alang-alang di dalam honai. Gemuru arus deras Sungai Baliem mengiringi tidur malam kami.
Jumat 25 November 2011 pukul 06.20 pagi usai sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan dari Kampung Wuserem menuju Kampung Syokosimo. Selama dua jam kami mendaki gunung untuk memasuki Kampung Syokosimo yang lembah dikelilingi gunung.
Letak geografis Kampung: Kilise, Wuserem, Syokosimo dan kampung-kampung lainnya sangat jauhan dan terpencil dari ibukota distrik dan kabupaten serta tidak tersedia sarana dan prasarana jalan, transportasi, listrik dan air bersih. Masyarakat hidup tergantung pada alam. Keterisolasian ini membuat hasil-hasil pertanian masyarakat sulit dijual ke kota Wamena. Sarana dan prasarana pendidikan juga tidak tersedia.
Untuk membelanjakan kebutuhan bahan pokok seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, garam, vetcin dan lainnya, masyarakat biasanya berjalan kaki dari kampung sampai ke ibukota distrik atau sampai ibukota kabupaten di Wamena. Habis belanja mereka pikul pakai noken pulang ke kampung.
Seperti pada Kamis siang, kami bertemu Jaret Kobak di pertengahan jalan. Dia memikul barang belanjaannya seperti beras, minyak goreng, rokok dan kebutuhan lainnya dari Wamena menuju Kampung Anggruk. ”Kalau jalan sampai malam, nanti saya tidur di tengah jalan, baru lanjut lagi sampai ke kampung”.
Pada Sabtu 26 November 2011 pukul 07.30 pagi, tim tours Papua Travels mengadakan perjalanan kembali dengan berjalan kaki menuju Wamena dari Kampung Kurima, Kilise, Wuserem dan Syokosimo. Dari Kampung Syokosimo Distrik Kurima ke kota Wamena ditempuh selama lima jam. Tarif ojek dari Kampung Syokosimo ke Wamena sebesar sepuluh ribu rupiah perpenumpang.
Dari seberang longsoran Kali Yetni kami menumpang mobil angkutan umum jenis starwagon menuju kota Wamena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar