Wisata Kampung "Geraba",Di Tengah Danua Sentani
***Fonsa***
Ternyata Sentra Geraba,tidak hanya ada di Bantul,Yogyakarta,Ada juga di Papua.
Menuju kampung
Abaar,kampung geraba.Kala matahari belum mau beranjak,masih tertutupi awan hitam,hujan gerimis di Senin,2
juli-lalu,dengan mengenderai sepeda motor,dari
waena-menuju Dermaga Kampung Yahim-Sentani,Kabupaten Jayapura-Papua.Dermaga ini merupakan
dermaga penyebrangan untuk ke beberapa
kampung lainya.
Untuk ke Kampung Abaar,harus mengunakan perahu.
Abaar..abaarrr..,langsung jalan”tawar
Carlos Doyapo,si pemilik perahu ketinting,”di ujung dermaga.
**Tiga puluh menit,perjalanan menuju Abaar.Hamparan danau
sentani bagaikan gelaran permadani yang
dipagari gugusan bukit-bukit. Di
sebelah barat,hujaunya rumpun hutarn
sagu,serasa bersahaja.
Sesekali, burung-burung berbulu putih,menceburkan diri ke air
danau.Atraksi burung penjaga danau ini,turut menghilangkan rasa penat
perjalanan.Melewati kampung,Ifale,Putali,Kensio,Yohiki,jam menunjukan pukul
10.30,sampailah di kampung sentra pembuat geraba,Kampung Abaar,Distrik Ebum
Fauw,Sentani Tengah,Kabupaten Jayapura.
Bangunan Gereja besar,seng bercat biru,kelihatan megah,Salib
besar menjulang tinggi di atas bukit,didirikan di atas sempe,tempayan berukuran besar,menjadi lapak dasar pijak
Salib.
Dari dermaga Abaar,sebelum memasuki kampung,kita langsung
berhadapan dengan tembok Gereja diukiri tifa,motof-motif suku sentani,ada pula
miniatur lainya berbahan tanah liat, bernuansa suku Sentani.Kesemua
bentuk,ukiran tentu memiliki makna dan
Filosofi hidup mereka.
Sedang mengamati
ornamen-ornamen tersebut.Datang seorang lelaki bertopi hitam,bertubuh
tinggi datang menghampiriku.Ternyata
dia,Yonas Doyapo yang juga Kepala Kampung Abaar. Baru pertama kali saya ke
Kampung itu,satu yang saya cari di
mana tempat pembuatan gerabah??Langsung
saja kami menuju tempat pembuatan Geraba,letaknya di atas kaki bukit.Terlihat
sebuah tungku berukuran besar,bertembok bata,bertumpuk bata-bata yang belum di
Openni.
Tak jauh dari Pembakaran bata(Open)menurut Yonas yang juga
ketua pengrajindi kampung Abaar,terdapat
sebuah ruangan berukuran 4x7 meter,berlantai tanah,berdinding papan.Dalam
ruangan sederhana ini,tampak seorang ibu, sedang menjejerkan hasil karya
pengrajin setempat pada rak-rak terbuka seperti: asbak,pot bunga,sempe,tungku
tanah liat,meja, kursi sepasang(1 meja dan 4 kursi bebentuk bulat,terpolesi
motif sentani,menambahkan kekhasan Papua.
Tempat ini “Kios geraba kampung Abaar”.Di teras kios inilah
mereka biasanya megaduk adonan tanah liat dan menempanya menjadi berbagai
bentuk kerjaninan.
Hasil kerajinana di jual dari
harga Rp 5000-200.000;itu untuk ukuran asbak,pot bunga ,sempe dan
Tungku. SedangkanSatu set Meja,kursi Rp5 juta lebih.
Terkait pemasaran.Mereka belum memiliki pasar tetap. Biasanya
dibawa ke pasa sentani atau ikut pameran di Festival Danau Sentani.Belum pernah
pameran keluar.”Kalau ada pesanan,kami buat di sini.Kalau tidak,kami buat dan
taru di kios saja.Nanti yang butuh mereka datang ke sini”Ujar mama Yohana.
Boleh dibilang pekerja geraba musima.Saat ada pesana baru
mereka buat.Masih dijadikan pekerjaan sambilan.Padahal di kampung ini sangat
berpotensi jika diseriusi.Pasti memiliki
pasar.Gerabah asal kampung Abaar, tak diragukan lagi kualitasnya.Nyatanya
beberapa kampung,di Jayapura seperti
:Nafri,Enjros,Tabati,Skow sering membeli sempe di kampung Abaar.Beberapa bulan
lalau,kata Yonas di kampungnya kedatangan pembeli dari Sorong,hanya untuk
membeli sempe.
****Tahun 2010,mereka(kelompok pembuat geraba)pernah
mengikuti pelatihan di Manado dengan membawa sampel tanah liat.Rupanya
berkualitas setelah diuji.Dan bisa
memproduksi produk-produk lain,seperti genteng,batu bata.
Namun saya, pengalaman yang pernah dipraktekkan di sana urung
direalisasikan.Karena untuk membuat genteng,bata jelas membutuhkan
peralatan.Harga Exruder mesin pengaduk tanah,harga Jakarta Rp 75
juta,yang harus dibeli di Jakarta.Berarti mesin seperti itu tidak ada di
sini?Ya.”Tutur ....kepada suara Perempuan Papua.
Pernahkan kampung Abaar
mengusulkan bantuan berupa mesin kepada
Pemerintah?,”Sudah,tapi sampai detik ini,kami masih gunakan kaki dan tangan
kami”dengan raut sedikit syukur kepada Tuhan,meski tak diberi mesin,tangan
mereka masih bisa mengaduk tanah liat
menjadi sebuah hasil karya layaknya buatan mesin.*****
Kerap orderan bata,genteng
berdatangan mencapai ribuan.Namun,sayang belum bisa di penuhi.Ya, itu tadi
tidak ada mesin pemembantu.Agar bisa berproduksi dalam jumlah banyak.****
Walaupun demikian,mereka mampu
membuat pesanan berjumlah ratusan.Terkait pemasaran.Belum dipasarkan secara
teratur,belum ada pasar tetap.Promosi
lewat Gereja.Selain itu,biasa mereka menjual di Pasar sentani atau di pajang di
kios.
~~~**Hari itu juga,sebanyak 75 sempe,dinaikan ke atas
perahu. Sempe-sempe ini pesanan dari wisata rohani yang sebelumnya berwisata ke
kampung Abaar.Per-sempe dihargai Rp 50 ribu.
~~~Memang tidak semuda yang kita
bayangkan,asal jadi,tidak demikian.”Kitong harus sabar,tanah sebelum jadi sempe,tong
harus injak-injak tanah,kalo ada batu,dibuang,begitu sampe
trada batu baru kita mulai buat
sempe,sampai proses pembakaran selama 9 jam. Semua pekerjaan secekil apapun
itu,mesti kerja dengan hati,niat yang baik,sabar pasti jadi baik.maka hasil
akhirnyapun pasti baik”Jelas kepala kapung abar,berdialge Sentani,mengahiri
perbincangan kami.
***Kampung Abaar terletak di ketinggian 5 meter dari air danau.
Kampung ini,jauh dari hiruk pikuk,kebisingan suasana kota.Aktivitas nelayan
menjaring,pemangkur sagu,berbaur
sejuknya semilir angin menyesap dalam suasana
hening...ikut memanjakan mata menerawang mengintari
rumah-rumah yang mengapung di kampung-kampung tetangga,sesekali kepulan
asap menembus atap rumah menjadi suguhan lukisan alam yang
seketika larut dalam rasa ikut
menentramkan jiwa.
Bagi mereka yang ingin berkunjung ke
kampung Abaar,cukup membayar ongkos Rp 10.000,pergi pulang.Sekaligus berwisata.Jangan
bilang tahu kampung Abaar,tapi belum
pernah menginjakan kaki di kampung pembuat Geraba ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar