FESTIVAL Danau Sentani (FDS) ke-V (19-23 Juni) pekan
lalu di Pantai Kalkhote, Kampung Harapan, Sentani-Kabupaten Jayapura-Provinsi Papua.
Untuk mencpai tempat FDS,saya mengunakan angkutan umum,di Jayapura
disebut “Taxi”tanpa argo.Cukup murah hanya Rp 3000 dari Abepura-menuju terminal
Expo,lanjut lagi dengan taxi menuju Sentani ongkosnya Rp 3000.Lima belas menit
saja. Bagi mereka yang baru di jayapura bisa langsung ingatkan ke supir,”Kampung
Harapan ada”supaya tidak kelewatan.Depan jalan terpasang umbul-umbul.
Tempat Festival berlangsung pantai Khalkote,kira-kira 200 meter.Ada ojek,ongkosnya
Rp 5000.Bagi yang suka jalan kakai bisa jalan. Ditengah perjalanan disungguhi dengan pesta pangkur sagu oleh masyarakat suku sentani. Perempuan-perempuan
Sentani sedang memerah sagu,sebagian laki-laki memangkur sagu. Dua meter dari
jalan raya,bagi mereka yang berjalan kakai,bisa singgah sebentar.
Begitu saya mendekati,aroma bau sagu yang khas begitu menelisik.Kembali
mengingatkan saya pada masa kecil saat pangkur sangu bersama keluarga.Hanya sepuluh menit saja,kemudian saya melanjutkan
perjalana menuju pementasan Festival.
Medan yang sulit dan mahalnya biaya
transportasi (pesawat) membuat masyarakat akhirnya harus berjalan kaki
dari Kobakma Ke kota Wamena.
Medan yang sulit menjadi salah satu
faktor tingginya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat dan pemerintah
untuk mencapai Kobakma, Ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah. Hal itu,
sangat berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Sehingga dibutuhkan langkah-langkah cerdas untuk mengatasi kesulitan
ini.
Belum lama ini, Tabloid Suara Perempuan Papua,
berkesempatan mengunjungi Kobakma melalui Wamena, masih segar dalam
ingatan ketika itu Hari Selasa, cuaca terlihat baik karena jejeran
pegunungan Cartenz yang terletak membujur mengelilingi “Baliem Valey”
terlihat jelas, hijau membiru, meski sesekali di bagian puncak gunung
terbungkus awan. Di balik kokpit, Pilot Heri tengah melakukan
persiapan untuk penerbangan, terlihat kedua tangannya sedang
mengotak-atik perlengkapan, sambil sesekali tangannya diangkat di dekat
wajahnya untuk melihat jarum jam. Kontak dengan petugas jaga di
lapangan terbang Kobakma terus dilakukan untuk memastikan bahwa pesawat
dapat diterbangkan.
Beberapa menit kemudian, pesawat terasa bergerak menuju landasan pacu.
Getaran kuat sangat terasa, pesawat sedang dikonsentrasikan untuk
lepas landas. Selang beberapa detik kemudian kami pun sudah
mengangkasa. Terlihat pemandangan Kota Wamena yang semakin asri.
Bentangan alam dan kebun-kebun penduduk serta letak kontur Tata kota
Wamena yang semakin bagus. Tampak kemajuan pembangunan pasca
terpilihnya John Wempi Wetipo dan John Banua menjadi Bupati dan Wakil
Bupati di daerah itu.
Dari Wamena ke Kobakma, ditempuh selama
15 menit. Saat berangkat jarum jam menunjukan pukul 09.00 pagi,
sehingga dalam perhitunganku hanya dalam waktu tersebut pesawat yang
kami tumpangi sudah mendarat di Kobakma. Landasan pacunya jika
diperhitungkan tidak lebih lebar dari panjang lapangan sepak bola.
Cukup untuk penerbangan pesawat jenis cesna, sepeprti yang kami
tumpangi pagi itu.
Pesawat menjadi satu-satunya sarana
transportasi utama, cepat, dan mahal. Mahal karena untuk menggunakan
pesawat ini, biasanya dikenakan ongkos sewa yang terbilang sangat
mahal. Sebab untuk sekali penerbangan dari Wamena-Kobakma ongkosnya
dapat mencapai Rp 25 juta. Itu pun untuk sekali terbang jika bolak
balik maka duakali lipat harganya. Tak heran hanya pejabat daerah saja
yang dapat menggunakan pesawat untuk urusan dan berbagai keperluan
pemerintahan. jika untuk urusan biasa maka jalan kaki adalah pilihan
yang mau tidak mau harus ditempuh.
Dari Kobakma ke Wamena atau sebaliknya
memang belum ada jalan darat yang mulus, meski dapat ditembus oleh
kendaraan jenis L200 namun hanya sampai di Yalimo. Tentu saja hal itu
disebabkan kondisi medan yang sangat sulit. Letaknya di kemiringan
jurang terjal dan kadang harus melalui sungai yang lebar dan berada di
belantara hutan yang sangat lebat.
Kondisi ini, tentu saja butuh kerja
keras dan perhatian serius dari pemerintah untuk membuka atau menerobos
isolasi daerah guna menjangkau masyarakat yang hidupnya
terpencar-pencar dan jauh di tengah belantara.
Karena kesulitan transportasi seperti
ini, makanya tidak heran jika masyarakat harus rela berjalan kaki
ratusan kilometer untuk mencapai kota Wamena. Wamena memang telah
menjadi pusat san sentral perputaran seluruh roda perekonomian di
wilayah pegunungan Tengah Papua. Jauh sebelum ada Kabupaten-kabupaten
baru yang lain, Wamena adalah Ibukota induk dan menjadi pusat aktvitas
kegiatan masyarakat dan pemerintahan. Wamena juga menjadi titik jangkau
yang mudah dijangkau dari berbagai arah, sehingga meski berjalan kaki
ratusan kilometer, Kota Wamena pasti dapat dijangkau, meski harus
melewati lembah, mendaki bukit dan menyusuri lembah-lembah.
Dari Wamena ke Kobakma untuk ongkos
pesawat biasa harganya bisa mencapai Rp 2,5 juta/orang sedangkan dari
Kobakma-Wamena relatif murah, Rp 350 ribu/orang. Biasanya untuk
menentukan harga tiket pesawat dilakukan sesuka hati para pilot atau
awak pesawat karena situasi yang serba sulit dan tidak ada alternatif
lain, sehingga disinilah pertaruhan harga menjadi satu-satunya pilihan
yang tidak bisa ditawar-tawar oleh calon penumpang pesawat.
kondisi ini dipandang sangat menyiksa,
apalagi jika warga yang punya uang, atau jika ada uang tapi sangat
sulit mengaskses penerbangan karena harus membayar mahal untuk sekali
penerbangan dengan ongkos sewa pesawat yang terbilang gila-gilaan.
Meski sulit secara ekonomi untuk
memanfaatkan jasa penerbangan, namun keterbatasan ini tidak menyurutkan
semangat hidup warga di Kobakma untuk tidak menikmati pembangunan.
Meski cukup jauh namun aktivitas perekonomian warga tetap berjalan
meski dalam skala tradisional, karena ada hari-hari yang dikhususkan
untuk berjualan. Biasanya mereka menyebutnya dengan hari pasar. Hari
pasar di sana berlangsung pada Selasa, Kamis dan Sabtu. Pada hari-hari
seperti ini biasanya ibukota distrik sangat ramai dikunjungi warga,
mereka melakukan transaksi untuk berbagai keperluan dan umumnya hanya
untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan, minum dan pakai).
Dalam perspektif orang di luar mereka
perjalanan panjang dengan berjalan kaki dari dan kembali ke Kobakma
merupakan sebuah penyiksaan yang maha berat. Tapi justru terbalik
dengan warga asli Kobakma atau mereka yang saat ini bertugas disana,
berjalan kaki adalah hal yang paling murah dan dapat menghemat
pengeluaran hingga jutaan rupiah. Bisa dibayangkan mengeluarkan uang
jutaan rupiah untuk waktu yang singkat dalam sekali penerbangan,
misalnya 15 menit dari Wamena dan 40 menit dari Jayapura. Sudah begitu,
pesawat pun tak rutin menyinggahi Kobakma, dalam sebulan barangkali
hanya sekali penerbangan normal, jika dikunjungi pesawat beberapa kali
maka tentu saja pesawat tersebut sedang di sewa. Biasanya oleh Pejabat
Pemerintah atau oleh misi pelayanan gereja atau oleh para peneliti atau
dari organisasi non pemerintah lainnya.
Umumnya Kobakma dilayani oleh pesawat
berukuran kecil seperti cesna, pilatus porter, ataupun twin otter dari
maskapai penerbangan sipil seperti AMA, MAF dan Yajasi.
Harga Barang Selangit
Kesulitan geografis menjadi salah satu
penyebab tingginya harga barang di Ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah,
Kobakma. Betapa tidak, untuk mengangkut berbagai barang kebutuhan baik
untuk keperluan aparat pemerintah maupun untuk kebutuhan masyarakat
maka mau tidak mau harus diangkut melalui udara. Tentu saja hal ini
membutuhkan biaya tinggi sebab belum ada jalur transportasi darat yang
dapat menghubungkan Kobakma dengan Wamena sehingga berbagai barang
kebutuhan rakyat dapat diangkut melalui jalur transportasi darat.
Seperti telah diceritakan diatas bahwa
hanya pejabat daerah dan pelaku bisnis yang dapat menggunakan pesawat
dengan patokan harga sewa hingga menembus puluhan juta rupiah. “Tak ada
penerbangan tetap sehingga penerbangan dari Wamena dan Jayapura
biasanya dicarter pejabat atau kebutuhan bisnis bisa mencapai Rp 25-27
juta, sekali terbang”, ujar Harun, Kapala Distrik Kobakma.
Menurutnya, kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. Tak heran
harga kebutuhan ekonomi di Kobakma, tergolong mahal. misalnya untuk
satu kilo gula pasir mencapai Rp 50 ribu, beras 1 kg Rp 30 ribu, dan
minyak tanah Rp 20 ribu per liternya.
Memang sangat sulit dan bisa
dibayangkan betapa harga barang menjulang tinggi. Meski tergolong
sangat tinggi namun harus dibeli karena tidak ada lagi alternatif lain.
Disisi lain masyarakat tetap melakukan
aktivitas jual beli seperti biasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan berjualan hasil-hasil kebun mereka seperti sayur-sayuran (
buncis, kol, sawi); ubi jalar, keladi, pisang, pepaya, sagu, kacang
tanah dengan harga yang relatif murah dan dapat dijangkau oleh pembeli
yang umumnya adalah masyarakat biasa dan para pegawai kecamatan.
Meski demikian, Kobakma pun memiliki
potensi yang luar biasa, dimana secara ekonomi ia menjadi daerah yang
sangat subur dan dapat dijadikan sebagai sentra produksi sayur-mayur,
karena dari Kobakma ada sejumlah sayuran yang dijual ke Wamena dengan
menggunakan pesawat.
Misalnya seperti yang dilakukan oleh
Adelina, (nama samaran)meskipun bukan pebisnis kelas kakap namun ia
cukup paham dengan peluang-peluang bisnis yang dapat digarap meski
hanya skala kecil. Kepada media ini ia mengaku bahwa dari berjualan
hasil kebun ia mampu menopang kebutuhan rumah tangganya. Ia bahkan
meluaskan jaringan bisnisnya dengan mendatangkan pinang dari Wamena dan
Jayapura, dan dijualnya dengan harga spesial di Kobakma, dan tentu saja
dari hasil penjualannya itu dirinya dapat dengan leluasa keluar masuk
Kobakma untuk urusan bisnis.
Sementara itu, Kepala Distrik Kobakma,
Harun Pagawak, dalam sebuah perbincangan dengan TSPP mengatakan bahwa
kondisi medan di Kobakma cukup sulit, sehingga sering menjadi kendala
dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. namun dari kondisi
tersebut dirinya tetap melayani berbagai kebutuhan masyarakat dan
menjadi menghubung bagi berbagai kepentingan pemerintah di distrik.
Ia juga sangat berharap agar
kedepannya Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah dapat berusaha keras
untuk membuka isolasi daerah dengan membangun jalan tembus Kobakma –
Wamena, dan bekerja sama untuk merintis masuknya penerbangan reguler
sehingga dalam sebulan atau seminggu minimal ada beberapa kali
penerbangan keluar masuk Kobakma. “kami berharap demikian khusus untuk
pesawat agar dijadwalkan sehingga memudahkan pelayanan pemeritahan
kepada masyarakat”, papar Pagawak.
Menurutnya, jika ada transportasi yang
baik tentu saja akan mendorong peningkatan ekonomi masyarakat di
Kobakma, khususnya transportasi darat.
Merindukan Angkutan
Sementara itu, ika, (25 tahun)
perempuan asli Kobakma yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
di Kobakma kepada TSPP bercerita ketika ia hendak ke Kobakma dari
Wamena menggunakan mobil angkutan jenis L200,dengan ongkos perorangnya
Rp 100 ribu dari kota Wamena ke Pasfale bersama beberapa teman
kerjanya, sampai di Pasfale Kabupaten Yalimo, lalu melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki mengikuti jalan setapak, mendaki bukit,
lereng dan menyeberangi sungai yang lebar. Biasanya mereka berangkat
pagi sampai di Kobakma malam, seharian penuh berada di belantara hutan
menapaki bukit, dan menuruni jurang terjal dan lebah sepanjang
perjalanan menuju Kobakma.
Saat liburan berakhir Ika dan
teman-teman harus kembali dengan cara yang sama, karena ongkos tiket
dari Wamena-Kobakma Rp2,3 juta.” harga segitu terlalu mahal jadi saya
dan teman-teman, kita memilih jalan kaki saja”kenang ika. Harga tiket
dari Kobakma-Wamena Rp 350 ribu. Dari wamena ke Kobakma mahal”saya dan
teman-teman lebih memilih jalan kaki saja”ujar wanita asal Kelila ini.
Ika berharap agar ada jalan tembus-ke
Kobakma sehingga tidak lagi ikut jalan setapak ditengah hutan.Jalan
tembus ke kobakma supaya kita bisa naik angkutan sampai di kobakma.
Ternyata Sentra Geraba,tidak hanya ada di Bantul,Yogyakarta,Ada juga di Papua.
Menujukampung
Abaar,kampung geraba.Kala matahari belum mau beranjak,masihtertutupi awan hitam,hujan gerimis di Senin,2
juli-lalu,dengan mengenderai sepeda motor,dariwaena-menuju Dermaga Kampung Yahim-Sentani,Kabupaten Jayapura-Papua.Dermaga ini merupakan
dermagapenyebrangan untuk ke beberapa
kampung lainya.
Untuk ke Kampung Abaar,harus mengunakan perahu.
Abaar..abaarrr..,langsung jalan”tawarCarlos Doyapo,si pemilik perahu ketinting,”di ujung dermaga.
**Tiga puluh menit,perjalanan menuju Abaar.Hamparan danau
sentani bagaikan gelaran permadaniyang
dipagarigugusan bukit-bukit. Di
sebelahbarat,hujaunya rumpun hutarn
sagu,serasa bersahaja.
Sesekali, burung-burung berbulu putih,menceburkan diri ke air
danau.Atraksi burung penjaga danau ini,turut menghilangkan rasa penat
perjalanan.Melewati kampung,Ifale,Putali,Kensio,Yohiki,jam menunjukan pukul
10.30,sampailah di kampung sentra pembuat geraba,Kampung Abaar,Distrik Ebum
Fauw,Sentani Tengah,Kabupaten Jayapura.
Bangunan Gereja besar,seng bercat biru,kelihatan megah,Salib
besar menjulang tinggi di atas bukit,didirikan di atas sempe,tempayanberukuran besar,menjadi lapak dasar pijak
Salib.
Dari dermaga Abaar,sebelum memasuki kampung,kita langsung
berhadapan dengan tembok Gereja diukiri tifa,motof-motif suku sentani,ada pula
miniatur lainya berbahan tanah liat, bernuansa suku Sentani.Kesemua
bentuk,ukirantentu memiliki makna dan
Filosofi hidup mereka.
Sedang mengamatiornamen-ornamen tersebut.Datang seorang lelaki bertopi hitam,bertubuh
tinggi datangmenghampiriku.Ternyata
dia,Yonas Doyapo yang juga Kepala Kampung Abaar. Baru pertama kali saya ke
Kampung itu,satu yangsaya cari di
manatempat pembuatan gerabah??Langsung
saja kami menuju tempat pembuatan Geraba,letaknya di atas kaki bukit.Terlihat
sebuah tungku berukuran besar,bertembok bata,bertumpuk bata-bata yang belum di
Openni.
Tak jauh dari Pembakaran bata(Open)menurut Yonas yang juga
ketua pengrajindi kampungAbaar,terdapat
sebuah ruangan berukuran 4x7 meter,berlantai tanah,berdinding papan.Dalam
ruangan sederhana ini,tampak seorang ibu, sedang menjejerkan hasil karya
pengrajin setempat pada rak-rak terbuka seperti: asbak,pot bunga,sempe,tungku
tanah liat,meja, kursi sepasang(1 meja dan 4 kursi bebentuk bulat,terpolesi
motif sentani,menambahkan kekhasan Papua.
Tempat ini “Kios geraba kampung Abaar”.Di teras kios inilah
mereka biasanya megaduk adonan tanah liat dan menempanya menjadi berbagai
bentuk kerjaninan.
Hasil kerajinana di jual dariharga Rp 5000-200.000;itu untuk ukuran asbak,pot bunga ,sempe dan
Tungku. SedangkanSatu set Meja,kursi Rp5 juta lebih.
Terkait pemasaran.Mereka belum memiliki pasar tetap. Biasanya
dibawa ke pasa sentani atau ikut pameran di Festival Danau Sentani.Belum pernah
pameran keluar.”Kalau ada pesanan,kami buat di sini.Kalau tidak,kami buat dan
taru di kios saja.Nanti yang butuh mereka datang ke sini”Ujar mama Yohana.
Boleh dibilang pekerja geraba musima.Saat ada pesana baru
mereka buat.Masih dijadikan pekerjaan sambilan.Padahal di kampung ini sangat
berpotensijika diseriusi.Pasti memiliki
pasar.Gerabah asal kampung Abaar, tak diragukan lagi kualitasnya.Nyatanya
beberapa kampung,di Jayapuraseperti
:Nafri,Enjros,Tabati,Skow sering membeli sempe di kampung Abaar.Beberapa bulan
lalau,kata Yonas di kampungnya kedatangan pembeli dari Sorong,hanya untuk
membeli sempe.
****Tahun 2010,mereka(kelompok pembuat geraba)pernah
mengikuti pelatihan di Manado dengan membawa sampel tanah liat.Rupanya
berkualitas setelah diuji.Dan bisamemproduksi produk-produk lain,seperti genteng,batu bata.
Namun saya, pengalaman yangpernah dipraktekkan di sana urung
direalisasikan.Karena untuk membuat genteng,bata jelasmembutuhkanperalatan.Harga Exruder mesin pengaduk tanah,harga Jakarta Rp 75
juta,yang harus dibeli di Jakarta.Berarti mesin seperti itu tidak ada di
sini?Ya.”Tutur ....kepada suara Perempuan Papua.
Pernahkan kampung Abaar
mengusulkanbantuan berupa mesin kepada
Pemerintah?,”Sudah,tapi sampai detik ini,kami masih gunakan kaki dan tangan
kami”dengan raut sedikit syukur kepada Tuhan,meski tak diberi mesin,tangan
mereka masih bisa mengaduktanah liat
menjadi sebuah hasil karya layaknya buatan mesin.*****
Kerap orderan bata,genteng
berdatangan mencapai ribuan.Namun,sayang belum bisa di penuhi.Ya, itu tadi
tidak ada mesin pemembantu.Agar bisa berproduksi dalam jumlah banyak.****
Walaupun demikian,mereka mampu
membuat pesanan berjumlah ratusan.Terkait pemasaran.Belum dipasarkan secara
teratur,belum ada pasartetap.Promosi
lewat Gereja.Selain itu,biasa mereka menjual di Pasar sentani atau di pajang di
kios.
~~~**Hariitu juga,sebanyak 75 sempe,dinaikan ke atas
perahu. Sempe-sempe ini pesanan dari wisata rohani yang sebelumnya berwisata ke
kampung Abaar.Per-sempe dihargai Rp 50 ribu.
~~~Memang tidak semuda yang kita
bayangkan,asaljadi,tidak demikian.”Kitong harus sabar,tanah sebelum jadi sempe,tong
harus injak-injak tanah,kalo ada batu,dibuang,begitusampe
trada batubaru kita mulai buat
sempe,sampai proses pembakaranselama 9 jam. Semua pekerjaan secekil apapun
itu,mesti kerja dengan hati,niat yang baik,sabar pasti jadi baik.maka hasil
akhirnyapunpasti baik”Jelaskepala kapung abar,berdialge Sentani,mengahiri
perbincangan kami.
***KampungAbaar terletak di ketinggian 5 meter dari air danau.
Kampung ini,jauh dari hiruk pikuk,kebisingan suasana kota.Aktivitas nelayan
menjaring,pemangkur sagu,berbaursejuknya semilir angin menyesap dalam suasanahening...ikut memanjakan matamenerawangmengintarirumah-rumah yang mengapung di kampung-kampung tetangga,sesekali kepulan
asap menembus atap rumah menjadi suguhan lukisan alamyangseketika larut dalamrasa ikut
menentramkan jiwa.
Bagi mereka yang ingin berkunjung ke
kampung Abaar,cukup membayar ongkos Rp 10.000,pergi pulang.Sekaligus berwisata.Jangan
bilangtahu kampung Abaar,tapi belum
pernah menginjakan kakidi kampung pembuat Geraba ini.
Papua Travel menyelenggarakan perjalanan wisata selama empat
hari mengunjungi tiga kampung yang menjadi tujuan wisata Kabupaten
Jayawijaya. Berwisata ke Kampung Kilise, Wuserem dan Syokosimo
melintasi jalan setapak di lereng gunung yang berbatu.
PEMERINTAH
Kabupaten Jayawijaya menetapkan tiga Kampung: Kilise, Wuserem dan
Syokosimo menjadi Kampung Tujuan Wisata, pada Tahun Wisata 2011. Dalam
kerangka Tahun Wisata itu, Papua Travels menyelenggarakan wisata ke
tiga kampung tersebut selama empat hari. Perjalanan menuju ketiga
kampung itu dilakukan dengan berjalan kaki melintasi jalan setapak.
Tidak ada sarana jalan yang tersedia untuk bisa dilalui kendaraan roda
dua dan empat.
Jalan yang dilintasi hanya dengan berjalan kaki itu menelusuri jalan
setapak di lereng gunung yang terjal berbatu hingga tiba di
kampung-kampung tujuan wisata. Jarak antar kampung dapat ditempuh
selama tiga sampai lima jam.
Dua turis asal Austria yang menggunakan jasa Papua Travels mengunjungi
Kampung: Kilise, Wuserem dan Syokosimo adalah Florian Gallien (31) dan
Inger Lankmayer (31). Keduanya dari Jayapura menggunakan jasa
penerbangan pesawat Trigana Air nomor 276 yang dikemudikan pilot
Bambang Sumardi pada Senin 22 November 2011 menuju kota Wamena, ibukota
Kabupaten Jayawijaya.
Dari Wamena, Florian Gallien, Inger Lankmayer, Damianus Wasange, Otis (Mr. Cooking), Spidi dan Bolii dan tabloid Suara Perempuan Papua
yang tergabung dalam Tours Papua Travels melanjutkan perjalanan menuju
Kampung: Kilise, Wuserem dan Syokosimo pada Selasa 23 November 2011
pukul 10.30 pagi dipandu Damianus, Otis, Spidi dan Bolii – sekaligus
sebagai porter (pengangkut barang turis) bagi para turis selama empat
hari.
Perjalanan Florian dan Inger dari Eropa menuju tiga kampung
terpencil di Kabupaten Jayawijaya yang dijadikan kampung tujuan wisata
juga memang jauh dan melelahkan, serta tentu biaya yang mereka
keluarkan juga tidak murah. Jika dihitung, keduanya paling tidak
masing-masing merogoh kocek sebesar Rp 50 juta hanya untuk mengunjungi
lokasi wisata di daerah terpencil yang hanya dapat ditempuh dengan
berjalan kaki di jalan setapak berbatu, berbukit-bukit, turun naik
gunung, dan menginap di honai tanpa penerangan lampu.
Walau lokasi tujuan wisatanya terpencil dan keadaannya serba alami,
Florian Gallien dan Inger Lankmayer tak sedikit pun mengeluh ataupun
berkata bosan. Keduanya sangat menikmati perjalanan wisata selama empat
hari di kampung terpencil. Kondisi badan jalan dari Wamena ke Kurima
yang terputus membuat perjalanan warga setiap hari dari dan ke arah itu
hanya ditempuh dengan berjalan kaki.
Kami menggunakan angkutan mobil jenis kijang berwarna merah
dikemudikan Piter Wetipo dari Wamena sampai ke Kurima, tapi hanya
sampai di tengah jalan kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki melewati Kampung Megapura, Hepuba, Longsor, Wesapor,dan
menyeberangi Kali Yetni menuju Kurima.
Matahari terbenam saat kami tiba di Kampung Kilise. Kampung
berikutnya masih jauh, sehingga kami sepakat menginap di kampung ini.
Keesokan harinya, Rabu 24 November 2011 pukul 08.00 pagi kami
melanjutkan perjalanan menuju Kampung Wuserem. Perjalanan melewati
jalan setapak di pinggir bantaran Sungai Baliem. Perjalanan ditempuh
selama empat jam mendaki bukit yang bertepi jurang dengan derasnya
Sungai Baliem di bawahnya. Gundukan batu menjadi ganjalan kaki menuruni
tebing yang curam.
Derasnya arus serasa langkah kaki mengikuti arus. Sementara di tepi
sungai berjajar rapi tumpukan batu-batu putih membentuk petak-petak
yang ditanami wortel, buncis, bawang merah dan petatas. Di antara pagar
batu dan menengok ke arah gunung terdapat rumah alang-alang atau honai
dari kejauhan terlihat kepulan asap berembus bagaikan lukisan yang
memanjakan mata selama perjalanan tour.
Jembatan Sungi Baliem yang panjangnya 100 meter, beralaskan papan
berukuran satu meter membentangi Sungai Baliem dan hanya bisa dilewati
satu orang. Kami melintasi lereng gunung di pinggiran Sungai Baliem
selama tiga jam hanya untuk menyeberangi jebatan Sungai Baliem. Setelah
melewati jembatan, kami mendaki gunung menuju sebuah perkampungan
kecil, matahari mulai memuncak sekira pukul 12.30 siang, begitu terasa
sengatan teriknya mentari, keringat bercampur kelelahan dan perut mulai
terasa lapar dan haus. Mr. Cooking minta kami makan siang di pinggir
Kali Mugi.
Air di kali Mugi sangat jernih, dan bersih sehingga masyarakat yang
hidup di sekitarnya menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat membentang tiga kayu bulat sebagai jembatan penyeberangan.
Ketiga batang kayu bulat itu diikat dengan tali hutan yang kuat menjadi
jembatan penyeberangan masyarakat sekitarnya.
Di pinggir kali, kami bertemu dengan ibu-ibu yang turun dari kampung
dengan membawa jerigen, panci dan wajan menyeberangi jembatan untuk
mengambil air minum, mencuci dan mandi di Kali Mugi. Kami pun
beristirahat di jembatan untuk makan siang.
Usai istirahat makan siang, kami melanjutkan perjalanan sampai tiba
di Kampung Wuserem pukul 06.00 sore. Di kampung ini, kami menginap di
tempat penginapan (quest house) atau honai milik Soleman Asso yang
disiapkannya untuk para turis yang berkunjung ke wilayah itu sebagai
tempat penginapan. Honai tersebut terletak di atas bukit menghadap ke
arah aliran Sungai Baliem yang membentang dari barat hingga ke timur
pegunungan memantulkan buratan matahari terbenam menjadi sebuah
pemandangan yang paling indah di waktu sore. Kami pun beristirahat
sembari menikmati matahari terbenam.
Ketika malam kampung itu gelap gulita. Hanya nyala api di tungku
dalam honai yang nyala. Pemilik honai hanya menyediakan beberapa batang
lilin untuk menerangi ruang pada malam hari.
Di dalam honai itu tidak ada tempat tidur, tikar atau pun kasur. Di
dalam hanya beralaskan alang-alang di atas tanah. Karena sudah sangat
lelah dan mengantuk, kami pun tidur dengan nyenyak beralaskan
alang-alang di dalam honai. Gemuru arus deras Sungai Baliem mengiringi
tidur malam kami.
Jumat 25 November 2011 pukul 06.20 pagi usai sarapan pagi, kami
melanjutkan perjalanan dari Kampung Wuserem menuju Kampung Syokosimo.
Selama dua jam kami mendaki gunung untuk memasuki Kampung Syokosimo
yang lembah dikelilingi gunung.
Letak geografis Kampung: Kilise, Wuserem, Syokosimo dan
kampung-kampung lainnya sangat jauhan dan terpencil dari ibukota
distrik dan kabupaten serta tidak tersedia sarana dan prasarana jalan,
transportasi, listrik dan air bersih. Masyarakat hidup tergantung pada
alam. Keterisolasian ini membuat hasil-hasil pertanian masyarakat sulit
dijual ke kota Wamena. Sarana dan prasarana pendidikan juga tidak
tersedia.
Untuk membelanjakan kebutuhan bahan pokok seperti beras, minyak
goreng, minyak tanah, garam, vetcin dan lainnya, masyarakat biasanya
berjalan kaki dari kampung sampai ke ibukota distrik atau sampai
ibukota kabupaten di Wamena. Habis belanja mereka pikul pakai noken
pulang ke kampung.
Seperti pada Kamis siang, kami bertemu Jaret Kobak di pertengahan
jalan. Dia memikul barang belanjaannya seperti beras, minyak goreng,
rokok dan kebutuhan lainnya dari Wamena menuju Kampung Anggruk. ”Kalau
jalan sampai malam, nanti saya tidur di tengah jalan, baru lanjut lagi
sampai ke kampung”.
Pada Sabtu 26 November 2011 pukul 07.30 pagi, tim tours Papua
Travels mengadakan perjalanan kembali dengan berjalan kaki menuju
Wamena dari Kampung Kurima, Kilise, Wuserem dan Syokosimo. Dari Kampung
Syokosimo Distrik Kurima ke kota Wamena ditempuh selama lima jam. Tarif
ojek dari Kampung Syokosimo ke Wamena sebesar sepuluh ribu rupiah
perpenumpang.
Dari seberang longsoran Kali Yetni kami menumpang mobil angkutan umum jenis starwagon menuju kota Wamena.